1. Kabupaten Gresik
    Tagana Jawa Timur
    Telah terjadi banjir pada tanggal 21 Mei 2010
    Kecamatan Benjeng :
    • Jenis Bencana : Banjir
    • 15 Desa yang terkena dampak Banjir :

    1. Desa Munggugianti : 437 KK / 1748 Jiwa
    Rumah Terendam : 257 unit
    Sawah Rusak : 93 (ha)
    Ketinggian Air : 60 cm
    1. Desa Sedapurklagen : 583 KK / 2332 Jiwa
    Rumah Terendam : 343 unit
    Sawah Rusak : 55 (ha)
    Ketinggian Air : 80 cm
    3. Desa Kedungrukem : 1297 KK / 5188 Jiwa
    Rumah Terendam : 763 unit
    Sawah Rusak : 96 (ha)
    Ketinggian Air : 100 cm
    4. Desa Deliksumber : 1176KK / 4704 Jiwa
    Rumah Terendam : 692 unit
    Sawah Rusak : 71 (ha)
    Ketinggian Air : 70 cm
    1. Desa Klampok : 413 KK / 1652 Jiwa
    Rumah Terendam : 243 unit
    Sawah Rusak : 46 (ha)
    Ketinggian Air : 50 cm
    6. Desa Bengkelolor : 196 KK / 784 Jiwa
    Rumah Terendam : 115 unit
    Sawah Rusak : 25 (ha)
    Ketinggian Air : 90 cm
    7. Desa Kalipadang : 683 KK / 2732 Jiwa
    Rumah Terendam : 402 unit
    Sawah Rusak : 52 (ha)
    Ketinggian Air : 50 cm
    8. Desa Lundo : 847 KK / 3388 Jiwa
    Rumah Terendam : 498 unit
    Sawah Rusak : 43 (ha)
    Ketinggian Air : 50 cm
    9. Desa Sirnoboyo : 1248 KK / 4992 Jiwa
    Rumah Terendam : 734 unit
    Sawah Rusak : 75 (ha)
    Ketinggian Air : 70 cm
    10. Desa Balongmojo : 158 KK / 632 Jiwa
    Rumah Terendam : 734 unit
    Sawah Rusak : 75 (ha)
    Ketinggian Air : 50 cm
    11. Desa Karangankidul : 144 KK / 576 Jiwa
    Rumah Terendam : 85 unit
    Sawah Rusak : 10 (ha)
    Ketinggian Air : 40 cm
    12. Desa Dermo : 342 KK / 1368 Jiwa
    Rumah Terendam : 201 unit
    Sawah Rusak : 31 (ha)
    Ketinggian Air : 75 cm
    13. Desa Bulangkulon : 335 KK / 1340 Jiwa
    Rumah Terendam : 197 unit
    Sawah Rusak : 28 (ha)
    Ketinggian Air : 40 cm
    14. Desa Bulurejo : 1119 KK / 4476 Jiwa
    Rumah Terendam : 658 unit
    Sawah Rusak : 20 (ha)
    Ketinggian Air : 80 cm
    15. Desa Kedungsekar : 430 KK / 1720 Jiwa
    Rumah Terendam : 253 unit
    Sawah Rusak : 49 (ha)
    Ketinggian Air : 70 cm
  2. Kabupaten Lamongan
    Tagana Jawa Timur
    Telah terjadi banjir pada tanggal 15 Mei 2010
    Kecamatan Babat:
    • Jenis Bencana : Banjir
    7 Desa yang terkena dampak Banjir :

    1. Desa Babat : Jumlah 1245 KK / 4980 Jiwa
    2. Desa Banaran : Jumlah 60 KK / 202 Jiwa
    3. Desa sogo : Jumlah 8 KK / 35 Jiwa
    Sawah rusak : 45 (ha)
    4. Desa Bedahan : Jumlah 210 KK / 815 Jiwa
    Sawah rusak : 15 (ha)
    5. Desa Plaosan : Jumlah 60 KK / 158 Jiwa
    Sawah rusak : 20 (ha)
    6. Desa Sumurgenuk : Sawah rusak : 15 (ha)
    7. Moro Pelang : Sawah rusak : 25 (ha)
    Tambak rusak : 20 (ha)
    Upaya yang dilakukan DINSOS Kab. LAMONGAN, DINSOS Prov. JATIM dan TAGANA :
    • Bantuan permakanan :
    o Mie Instant : 1600 bks
    o Sarden : 180 kaleng
    o Beras : 12.620 Kg
    o Minyak Goreng.
    • Peran TAGANA 8 Personil
    o Pendistribusian Logistik
    o Mitigasi Tanggul rawan ambrol dan pendataan.
    • Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan
    o Pengoptimalkan 3 pompa air dan mengalirkan kearah Sungai Bengawan Lamongan.
    o Pembagian Karung plastik untuk membendung Tanggul yang jebol.
    o Mitigasi kepada warga lewat koordinasi para Muspika Kecamatan Babat dengan para Kepala Desa
  3. Kabupaten Banyuwangi
    Koordinator Tagana Kabupaten Banyuwangi
    Telah terjadi banjir pada tanggal 11 Mei 2010
    Kecamatan Sempu :
    • Jenis Bencana : Banjir
    • Desa Karangsari
    - Rumah Rusak Berat : 2 Unit

    Upaya yang dilakukan :
    • Peran TAGANA
    o Mengevakuasi Korban 2 KK
    o Pendistribusian Logistik
  4. KAB. Pasuruan
    Tagana Provinsi Jawa Timur
    Telah terjadi banjir pada tanggal 11 Mei 2010
    Kecamatan Rejoso :
    • Jenis Bencana : Banjir
    • 9 Desa yang terkena dampak Banjir :

    1. Desa Sadeng Rejo
    2. Desa Toyaning
    3. Rejoso Kidul
    4. Sambirejo
    5. Patuguram
    6. Kedung Boko
    7. Rejoso Lor
    8. Kawirejo
    9. Jarangan

    Upaya yang dilakukan :
    • Bantuan permakanan :
    o Mie Instant : 2000 bks
    o Sarden : 300 kaleng
    o Minyak Goreng.
    • Peran TAGANA
    o Mendirikan DU (Dapur Umum Lapangan)
    o Pendistribusian Logistik ( 3000 Bungkus / hari)
  5. KAB. Kediri
    Koordinator Tagana Kabupaten. Kediri
    Telah terjadi banjir pada tanggal 11 Mei 2010, Di 2 Kecamatan, meliputi : Kecamatan Grogol dan Kecamatan Gampengrejo

    Kecamatan Grogol :
    • Jenis Bencana : Banjir
    • 2 Desa yang terkena dampak Banjir

    Kecamatan Gampengrejo :
    • Jenis Bencana : Banjir
    • 2 Desa yang terkena dampak Banjir

    Upaya yang dilakukan DINSOS Kab. KEDIRI, DINSOS Prov. JATIM dan TAGANA :
    • Bantuan permakanan :
    o Mie Instant : 2000 bks
    o Sarden : 300 kaleng
    o Minyak Goreng.
    • Peran TAGANA
    o Mendirikan DU (Dapur Umum Lapangan)
    o Pendistribusian Logistik
  6. KAB. Jember

    Koordinator Tagana Kabupaten. Jember
    Telah terjadi banjir pada tanggal 10 Mei 2010.
    Kecamatan Sumber Baru :
    • Jenis Bencana : Banjir
    • Desa yang terkena 2 Desa
    Upaya yang dilakukan oleh DINSOS Kab. JEMBER, DINSOS Prov JATIM dan TAGANA :
    o Pendistribusian Logistik
  7. KAB. Lumajang

    Moch Eko Santoso Koordinator Tagana Kabupaten. Lumajang
    Telah terjadi banjir pada tanggal 9 Mei 2010 di 2 Kecamatan, meliputi : Kecamatan Jatiroto, Ds Jatiroto, Kec. Rowokangkung

    Kecamatan Jatiroto :
    • Jenis Bencana : Banjir
    • Desa yang terkena dampak Banjir
    o Desa Jatiroto
    • Korban : 619 KK / 2764 jiwa

    Ketinggian Air 1 – 150cm

    Upaya yang dilakukan DINSOS Kab. LUMAJANG, DINSOS Prov. JATIM dan TAGANA :
    • Peran TAGANA
    o Mendirikan DU (Dapur Umum Lapangan)
    o Pendistribusian Logistik
    o Pendataan dan Evakuasi


    KAB. Nganjuk

    Aries Trio Effendi Koordinator Tagana Kabupaten. Nagnjuk
    Telah terjadi bencana angina Putting Beliung pada tanggal 9 Mei 2010 di Kecamatan Pace, meliputi 2 Desa.
    • Jenis Bencana : Angin Putting Beliung
    • Desa yang terkena dampak Angin Putting Beliung
    o 2 Desa
    • Korban : 53 KK / 204 jiwa
    • Rumah Rusak milik Penduduk :
    o Rusak Ringan : 47
    o Rusak Berat : 4

    Upaya yang dilakukan DINSOS Kab. Nganjuk, DINSOS Prov. JATIM dan TAGANA :
    • Bantuan permakanan :
    o Mie Instant : 2000 bks
    o Sarden : 300 kaleng
    o Minyak Goreng.
    • Peran TAGANA
    o Mendirikan DU (Dapur Umum Lapangan)
    o Pendistribusian Logistik
    o Pendataan dan Evakuasi
  8. KAB. Trenggalek

    Koordinator Tagana Kabupaten. Trenggalek
    Telah terjadi banjir bandang dan Tanah Longsor pada tanggal 5 Mei 2010 di 7 Kecamatan, meliputi : Kecamatan Trenggalek, Kecamatan Pogalan, Kecamatan Gandusari, Kecamatan Durenan, Kecamatan Kampak, Kecamatan Bendungan dan Kecamatan Munjungan.

    Kecamatan Bendungan :
    • Jenis Bencana : Tanah Longsor
    • Desa yang terkena dampak longsor
    o 1desa
    • Korban : 3 KK / 12 jiwa
    • Bangunan Pemerintah :
    o Rusak Berat : 3 unit

    Kecamatan Munjungan :
    • Jenis Bencana : Tanah Longsor
    • Desa yang terkena dampak Tanah Longsor
    o 7 Desa
    • Korban : 135 KK / 270 jiwa
    • Bangunan Pemerintah :
    • Rusak Ringan : 78 unit

    Kecamatan Trenggalek :
    • Jenis Bencana : Banjir Bandang
    • Desa yang terkena dampak banjir bandang
    • 3 Desa
    • Korban : 314 KK / 1420 jiwa

    Kecamatan Pogalan :
    • Jenis Bencana : Banjir Bandang
    • Desa yang terkena dampak banjir bandang
    o 9 Desa
    • Korban : 734 KK / 1805 jiwa
    o Ds. Gembleb RT. 06 /02, Meninggal : 4 jiwa,
    1. Tambir Laki- laki 85 th
    2. Muji Perempuan 80 th
    3. Katemi Perempuan 70 th
    4. Rofiah Perempuan 36 th
    • Bangunan Pemerintah :
    • Hancur total : 6 unit
    • Rusak Ringan : 23 unit

    Kecamatan Gandusari :
    • Jenis Bencana : Banjir Bandang
    • Desa yang terkena dampak banjir bandang
    o 4 Desa
    - Ds. Wonorejo
    - Ds. Sukorejo
    – Ds. Gandusari
    - Ds. Ngrayung
    • Korban : 229 KK / 756 jiwa

    Kec. Kampak
    - Ds. Bendo agung
    - Ds. Bogoran
    - Ds. Karang rejo

    Kecamatan Durenan :
    • Jenis Bencana : Banjir Bandang
    • Desa yang terkena dampak banjir bandang
    • Korban : 100 KK / 400 jiwa

    Ketinggian Air 1 – 175cm

    Upaya yang dilakukan DINSOS Prov. JATIM dan TAGANA :
    • Bantuan permakanan :
    o Mie Instant : 4000 bks
    o Sarden : 600 kaleng
    o Minyak Goreng : 50 btl
    o Saos Sambal
    o Kecap
    • Bantuan Pakaian
    o Jarit
    o Sarung
    o Kaos krah Dewasa
    o Daster
    o Matras
    o Tenda Gulung
    • Peran TAGANA
    o Mendirikan DU (Dapur Umum Lapangan)
    o Pendistribusian Logistik
    o Pendataan dan Evakuasi
    o Pengerahan anggota TAGANA
  9. KAB. Tulungagung

    Azis Koordinator Tagana Kabupaten. Tulungagung
    Telah terjadi banjir bandang dan Tanah Longsor pada tanggal 5 MEI 2010, di 5 Kecamatan, meliputi : Kecamatan Pagerwojo, Kecamatan Gondang, Kecamatan Besuki, Kecamatan Bandung, dan Kecamatan Pakel.

    Kecamatan Pagerwojo :
    • Jenis Bencana : Tanah Longsor
    • Desa yang terkena dampak longsor
     Desa Samar
     Desa Penjor
     Desa Gambiran
    • Korban : 17 KK / 81 jiwa
    • Rumah Rusak :
    o Ringan : 1 unit
    o Berat : 1 unit
    o Total : 3 unit

    Kecamatan Gondang :
    • Jenis Bencana : Banjir Bandang
    • Desa yang terkena dampak banjir bandang
     Desa Notorejo
    • Korban : 96 KK / 473 jiwa
    • Sawah rusak : 23 (ha)

    Kecamatan Besuki :
    • Jenis Bencana : Banjir Bandang
    • Desa yang terkena dampak banjir bandang
     5 Desa
    • Korban : 979 KK / 3818 jiwa
    • Sawah rusak : 174(ha)
    • Tambak rusak : 67 (ha)

    Kecamatan Bandung :
    • Jenis Bencana : Banjir Bandang
    • Desa yang terkena dampak banjir bandang
     9 Desa
    • Korban : 1271 KK / 4855 jiwa
    • Sawah rusak : 167(ha)
    • Tambak rusak : 23 (ha)

    Kecamatan Pakel :
    • Jenis Bencana : Banjir Bandang
    • Desa yang terkena dampak banjir bandang
    • Korban : 103 KK / 514 jiwa
    • Tambak rusak : 7 (ha)
    Ketinggian Air 1 – 175cm
    Upaya yang dilakukan DINSOS Prov. JATIM dan TAGANA:
    • Bantuan permakanan :
    o Mie Instant : 4000 bks
    o Sarden : 600 kaleng
    o Minyak Goreng.
    • Peran TAGANA
    o Mendirikan DU (Dapur Umum Lapangan)
    o Pendistribusian Logostik
    o Pendataan dan Evakuasi

Manajemen Penanganan Bencana Berbasis Masyarakat

Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada kegiatan sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness. Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin timbul ketika bencana.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan sebelum bencana dapat berupa pendidikan peningkatan kesadaran bencana (disaster awareness), latihan penanggulangan bencana (disaster drill), penyiapan teknologi tahan bencana (disaster-proof), membangun sistem sosial yang tanggap bencana, dan perumusan kebijakan-kebijakan penanggulangan bencana (disaster management policies).
Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan utama,
yaitu:
1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta
peringatan dini;
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan
penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan
pengungsian;
3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang sudah dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta memikirkan tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan didalam menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak bencana. Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material. Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi.
Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau depresi.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa titik lemah dalam Siklus Manajemen Bencana adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga hal inilah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.
Mitigasi Bencana
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.
Mitigasi Bencana yang Efektif
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.
1. Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan aset
yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi
untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
3. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).
Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat
Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan kelembagaan dalam bentuk dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tindakan gawat darurat, manajemen barak dan evakuasi bencana bertujuan mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada
aparatnya serta melakukan koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun dengan tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal wilayah administrasi, sehingga setiap daerah memiliki rencana penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya.
Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain:
1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana;
2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan;
3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik;
4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan;
5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana

Cara Menghadapi Bencana Alam

A. Penyebab Terjadinya Bencana Alam
Bencana alam merupakan peristiwa yang tidak kita harapkan datangnya. Sebab jika bencana tersebut datang maka akan mampu merusak segala sesuatu yang ada di sekitar kita, bahkan mampu merenggut jiwa manusia. Bencana alam yang mampu menghancurkan suatu daerah yang luas dan menyebabkan kerugian yang besar merupakan proses alami.
Terjadinya bencana alam dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Alam
Bencana alam murni penyebab utamanya adalah alam itu sendiri.
Contoh bencana alam murni adalah gempa bumi, tsunami, badai atau letusan gunung berapi. Bencana-bencana tersebut bukan disebabkan oleh ulah negatif manusia.
2. Perbuatan Manusia
Bencana alam yang terjadi karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Bukan berarti bencana ini dibuat oleh manusia tetapi akibat dari ulah manusia atau dipicu dari perbuatan manusia, seperti penebangan hutan secara liar, penambangan liar, pengambilan air tanah secara berlebihan dan lain-lain. Perbuatanperbuatan tersebut lambat laun akan menyebabkan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, atau erosi tanah.

B. Mencegah dan Menghadapi Bencana Alam

a. Bencana Alam Geologis
Bencana alam geologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh faktor yang bersumber dari bumi.
b. Bencana Alam Klimatologis
Bencana alam klimatologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh cuaca yang berubah.
c. Bencana Alam Ekstraterestrial
Bencana alam ekstraterestrial adalah bencana alam yang disebabkan oleh benda dari luar angkasa.

Contoh kejadian bencana Alam
a. Bencana Alam Geologis
1) Gempa bumi
2) Letusan gunung api
3) Gerakan tanah atau tanah longsor
4) Tsunami
5) Seiche atau tsunami dalam skala kecil

b. Bencana Alam Klimatologis
1) Banjir
2) Banjir bandang
3) Badai
4) Kekeringan
5) Kebakaran hutan

c. Bencana Alam Ekstraterestrial
Hantaman meteor atau benda dari angkasa luar yang menabrak bumi. Hal ini terjadi pada tahun 1908 di Rusia. Meteor atau bintang beralih jatuh ke bumi dan mengakibatkan lubang yang

Mengenal dan mengantisipasi bencana alam :

a. Gempa Bumi
Gempa bumi merupakan gejala alam yang sampai sekarang masih sulit untuk diperkirakan kedatangannya. Sehingga dapat dilihat bahwa gejala alam ini sifatnya seolah-olah mendadak dan tidak teratur. Dengan sifat seperti ini, ketika usaha-usaha untuk memperkirakan masih belum menampakkan hasil, maka usaha yang paling baik dalam mempersiapkan diri dengan cara mengatasi bencana alam ini adalah dengan mitigasi.

Mitigasi yaitu mengurangi kerugian yang akan ditimbulkan oleh bencana. Usaha mitigasi adalah meningkatkan ketahanan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam sehingga risiko bencana alam dapat dikurangi.
Para ahli menyimpulkan walau datangnya gempa tidak dapat diperkirakan kedatangannya tetapi ada beberapa gejala alam yang patut dicermati dan dianggap sebagai tanda akan adanya gempa, sebagai berikut.
1) Adanya awan yang berbentuk aneh seperti batang yang berdiri secara lurus ke atas. Hal ini kemungkinan besar merupakan awan yang disebut awan gempa yang biasanya muncul sebelum terjadinya gempa. Awan berbentuk seperti batang ini terjadi karena adanya gelombang elektromagnetis
berkekuatan sangat besar dari dalam perut bumi sehingga menyerap daya listrik yang ada di awan. Gelombang elektromagnetis ini terjadi akibat adanya pergeseran patahan lempeng bumi. Tetapi tidak semua awan yang berbentuk seperti itu adalah awan gempa, mungkin saja itu adalah asap dari pesawat terbang. Jika ada tanda seperti itu maka perlu untuk diwaspadai. Untuk lebih meyakinkan lagi maka dapat dilakukan uji medan elektromagnetik.
2) Terdapat medan elektromagnetik di sekitar kita. Gelombang tersebut memang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Medan elektromagnetik dapat diuji dengan cara melihat siaran televisi apakah tiba-tiba salurannya terganggu tanpa sebab apapun. Jika kurang yakin, kalian dapat melakukan uji medan elektromagnetik dengan cara lain. Dengan mematikan arus listrik dan melihat apakah lampu neon tetap menyala redup/ remang walaupun sudah tidak dialiri listrik.
3) Perhatikan perilaku hewan-hewan yang ada di sekitar kalian. Apakah hewan-hewan tersebut bertingkah aneh atau gelisah. Sebab hewan memiliki naluri yang sangat tajam dan mampu merasakan gelombang elektromagnetis. Jika kalian melihat tanda-tanda seperti itu secara bersamaan sebaiknya kalian perlu waspada. Harus segera dilakukan tindakan pencegahan dan sebisa mungkin kita melakukan
tindakan penyelamatan diri. Tetapi jika gempa telah tiba dan kita sama sekali belum siap, maka selain berdoa dan pasrah kita harus cepat-cepat keluar ruangan menuju ke tempat yang lapang. Jika sudah di luar ruangan tetaplah tinggal di luar dan berusahalah berada di tempat yang terbuka, jauh dari pepohonan, tembok-tembok serta saluran-saluran kabel listrik. Usahakan jangan masuk ke dalam rumah atau bangunan.

Apa yang dapat dilakukan jika berada di dalam gedung dengan banyak orang? Kita tidak perlu panik dan ikut berdesak-desakan keluar. Jika itu yang terjadi maka kita akan terinjak-injak banyak orang dan tertimpa runtuhan bangunan. Sebaiknya yang perlu kita lakukan adalah berlindung di bawah meja atau mebel yang kokoh atau mencari sesuatu yang dapat melindungi kepala dan badan kita dari reruntuhan bangunan. Jika suasana telah tenang dan aman usahakan untuk keluar ruangan dan mencari tempat yang lebih aman lagi.

b. Tsunami
Gempa berkekuatan besar tentu saja ada dampak yang bias berwujud bencana jenis lain. Jika skala gempa besar dan pusat gempa berada di dasar laut maka gempa tersebut dapat menimbulkan gelombang tsunami. Gelombang tsunami adalah gelombang besar yang terbentuk dari dasar laut akibat adanya gempa.
Negara Indonesia terdiri atas kepulauan, tentunya banyak sekali pantai-pantai di sekitarnya yang dihuni oleh penduduk. Pada saat gelombang tsunami melanda Indonesia akhir tahun 2004 banyak penduduk yang menjadi korban. Banyaknya korban disebabkan karena banyak penduduk yang kurang paham dan bahkan tidak mengetahui bagaimana usaha yang perlu dilakukan ketika bencana datang. Sebenarnya jika kita mengetahui dan paham tentang tsunami maka jumlah korban dapat dikurangi. Berbagai upaya telah dilakukan sebagai usaha untuk mengurangi korban jika ada bencana datang. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan membentuk kelompok-kelompok masyakarat yang paham akan bencana alam. Kepekaan dan keterampilan menyelamatkan diri secara individual maupun kelompok harus terus dilatih. Adapun langkah yang harus ditempuh oleh kelompok masyarakat dalam mengurangi jumlah kerugian akibat bencana sebagai berikut.
1) Melakukan pemetaan daerah rawan genangan tertinggi jika ada tsunami.
2) Membuat jalur evakuasi.
3) Menentukan dan memberi informasi tempat penampungan sementara yang cukup aman.
4) Berkoordinasi dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), kepolisian, pemerintah daerah, dan rumah sakit. Selain itu masyarakat juga harus memahami gejala-gejala yang tidak biasa terjadi.
5) Melakukan pertemuan rutin untuk menambah pengetahuan mengenai gempa dan tsunami. Jika masih kurang jelas, dapat mendatangkan ahli untuk memberi informasi.
6) Melakukan latihan secara reguler, baik terjadwal maupun tidak terjadwal.
7) Membuat kode tertentu yang dikenali masyarakat sekitar guna menandakan evakuasi.
8) Menyebarkan gambar peta evakuasi di pelosok daerah tempat tinggal masyarakat.

Adapun langkah yang perlu dilakukan tiap individu sebagai berikut.
1) Menyiapkan tas darurat yang berisi keperluan-keperluan mengungsi selama tiga hari seperti makanan, pakaian, suratsurat berharga atau obat-obatan.
2) Selalu merespon tiap latihan dengan serius sama seperti saat terjadinya gempa.
3) Selalu peka terhadap fenomena alam yang tidak biasa. Apabila kita peka sebenarnya alam telah memberikan tanda-tanda sebelum terjadinya tsunami.
Beberapa petunjuk yang diberikan alam antara lain berikut ini.
1) Adanya suara gemuruh di laut, hal ini akibat adanya pergeseran lapisan tanah.
2) Laut tiba-tiba menyurut sampai agak jauh ke tengah.
3) Karena surutnya laut maka akan tercium bau khas laut seperti bau amis.
4) Burung-burung laut terbang dengan kecepatan tinggi menuju daratan.
Dunia internasional juga ikut berperan serta dalam upaya menghadapi bencana alam tsunami. Tsunami paling sering terjadi di Samudra Pasifik karena gempa bumi dan letusan gunung berapi sering terjadi di sana. Pusat Peringatan Tsunami Internasional (International Tsunami Warning Center) didirikan di Hawaii untuk memantau terjadinya gempa bumi di sekitar Samudra Pasifik dan mengeluarkan peringatan kapan tsunami akan terjadi. Ketika gempa bumi besar terjadi, stasiun pengamatan di sekitar Samudra Pasifik menemukan pusat gempa (episentrum) dan mengirimkan informasi yang diperoleh ke pusat peringatan di
Hawaii. Jika gempa bumi dianggap cukup besar dan dapat menimbulkan tsunami, maka tempat-tempat di sekitar

Samudra Pasifik dalam status waspada dan peringatan dikeluarkan. Stasiun pasang di sekitar pantai juga memantau kedatangan tsunami.

c. Tanah Longsor
Tanah longsor merupakan jenis gerakan tanah. Tanah longsor sendiri merupakan gejala alam yang terjadi di sekitar kawasan pegunungan. Semakin curam kemiringan lereng suatu kawasan, semakin besar pula kemungkinan terjadi longsor. Longsor terjadi saat lapisan bumi paling atas dan bebatuan terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Pada dasarnya sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Lahan atau lereng yang kemiringannya melampaui 20° umumnya berbakat untuk bergerak atau longsor. Tapi tidak selalu lereng atau lahan yang miring berpotensi untuk longsor.

Secara garis besar faktor penyebab tanah longsor sebagai berikut.
1) Faktor alam
a) Kondisi geologi antara lain batuan lapuk, kemiringan lapisan tanah, gempa bumi dan letusan gunung api.
b) Iklim yaitu pada saat curah hujan tinggi.
c) Keadaan topografi yaitu lereng yang curam.

2) Faktor manusia
a) Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
b) Penimbunan tanah di daerah lereng.
c) Penebangan hutan secara liar di daerah lereng.
d) Budidaya kolam ikan di atas lereng.
e) Sistem drainase di daerah lereng yang tidak baik.
f) Pemompaan dan pengeringan air tanah yang menyebabkan turunnya level air tanah.
g) Pembebanan berlebihan dari bangunan di kawasan perbukitan.

Usaha mitigasi bencana tanah longsor berarti segala usaha untuk meminimalkan akibat terjadinya tanah longsor. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menekan bahaya tanah longsor dibagi menjadi tiga, yaitu:

1) Tahap awal atau tahap preventif
Tahap awal dalam upaya meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor adalah sebagai berikut.
a) Mengidentifikasi daerah rawan dan melakukan pemetaan.
b) Penyuluhan pencegahan dan penanggulangan bencana alam dengan memberikan informasi mengenai bagaimana dan mengapa tanah longsor.
c) Pemantauan daerah rawan longsor.
d) Perencanaan pengembangan sistem peringatan dini di daerah rawan bencana.
e) Menghindari bermukim atau mendirikan bangunan di tepi lembah sungai terjal.
f) Menghindari melakukan penggalian pada daerah bawah lereng terjal yang akan mengganggu kestabilan lereng sehingga mudah longsor.
g) Menghindari membuat sawah baru dan kolam pada lereng yang terjang karena air yang digunakan akan memengaruhi sifat fisik lereng. Lereng menjadi lembek dan gembur sehingga tanah mudah bergerak.
h) Menyebarluaskan informasi bencana gerakan tanah melalui berbagai media sehingga masyarakat mengetahui.

2) Tahap bencana
Usaha yang perlu dilakukan ketika suatu daerah terkena bencana tanah longsor antara lain berikut ini.
a) Menyelamatkan warga yang tertimpa musibah.
b) Pembentukan pusat pengendalian atau crisis center.
c) Evakuasi korban ke tempat yang lebih aman.
d) Pendirian dapur umum, pos-pos kesehatan, dan penyediaan air bersih.
e) Pencegahan berjangkitnya wabah penyakit.
f) Evaluasi, konsultasi, dan penyuluhan.

3) Tahap pascabencana
Setelah bencana tanah longsor terjadi, bukan berarti permasalahan selesai, tetapi masih ada tahapan yang perlu dilakukan untuk mengurangi jumlah kerugian, yaitu:
a) Mengupayakan mengembalikan fungsi hutan lindung seperti sediakala.
b) Mengevaluasi dan memperketat studi Amdal pada kawasan vital yang berpotensi menyebabkan bencana.
c) Penyediaan lahan relokasi penduduk yang bermukim di daerah bencana, dan di sepanjang bantaran sungai.
d) Normalisasi area penyebab bencana.
e) Rehabilitasi sarana dan prasarana pendukung kehidupan masyarakat yang terkena bencana alam secara permanen.
f) Menyelenggarakan forum kerja sama antardaerah dalam penanggulangan bencana.
Para ilmuwan mengkategorikan bencana tanah longsor sebagai salah satu bencana geologi yang paling bisa diperkirakan.

Ada tiga tanda untuk memantau kemungkinan terjadinya tanah longsor yaitu:
1) Keretakan pada tanah yang berbentuk konsentris (terpusat) seperti lingkaran atau paralel dan lebarnya beberapa sentimeter dengan panjang beberapa meter. Bentuk retakan dan ukurannya yang semakin lebar merupakan parameter ukur umum semakin dekatnya waktu longsor.
2) Penampakan runtuhnya bagian-bagian tanah dalam jumlah besar.
3) Kejadian longsor di satu tempat menjadi pertanda kawasan tanah longsor lebih luas lagi.

d. Gunung Berapi
Letusan gunung berapi dapat berakibat buruk bagi kehidupan sekitar baik manusia, tumbuhan, maupun hewan. Jika gunung berapi meletus maka magma yang ada di dalam gunung berapi meletus keluar sebagai lahar atau lava. Selain dari aliran lahar, dampak lain akibat gunung berapi meletus antara lain adanya aliran lumpur, hujan debu, kebakaran hutan, gas beracun, gelombang tsunami (jika gunung tersebut berada di dasar laut), dan gempa bumi.Usaha mitigasi untuk bencana alam gunung berapi adalah dengan cara mengevakuasi penduduk yang ada di sekitar gunung berapi. Terkadang usaha evakuasi ini menghadapi suatu dilema, misalnya ketika para ahli vulkanologi harus mengambil keputusan apakah gunung berapi yang dipantaunya akan meletus atau tidak. Jika gejala awal letusan gunung berapi begitu meyakinkan maka para ahli vulkanologi memutuskan untuk segera menginformasikan pada aparat pemerintah daerah untuk mengungsikan penduduk.

PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS MASYARAKAT

PENDAHULUAN
Pada sebuah forum internasional yang dilaksanakan pada awal 2007 di Jepang ada sebuah pertanyaan yang perlu disikapi oleh kita sebagai warga Indonesia, pertanyaannya antara lain: "Mengapa bencana alam bisa terjadi bertubi-tubi di Indonesiadalam tahaun-tahun sekarang ini ?, "dan mengapa bencana alam itusering kali banyak memakan korban korban jiwa dan harta benda ?", kemudian bagaimana dampak bencana tersebut terhadap kehidupan masyarakat/ komunitas lokal yang bersangkutan ?", Apa saja upaya -upaya Indonesia dalam penanggulangan bencana tersebut,?



Penulis sadar bahwa dari sekian banyak pertanyaan itu tidak mungkin bisa terjawab semua. Beberapa pertanyaan mungkin lebih tepat jika ditujukan langsung kepada para korban, sukarelawan, pengurus LSM atau NGO, aparat pemerintah yang terkait dan bahkan Tuhan Y.M.E. Namun demikian pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya telah menyadarkan penulis bahwa ternyata “Isu bencana” telah menjadi perhatian internasional. Pentingnya isu tersebut karena berkaitan langsung dengan masalah pembangunan berkelanjutan, termasuk natural, economic and social sustainability sebagaimana tema yang dibahas dalam forum tersebut. Bertolak dari pengalaman itu, melalui tulisan singkat ini penulis berusaha mengorganisasikan informasi dan data upaya penanggulangan bencana gempa bumi di Kobe-Jepang sejak 12 tahun silam untuk dijadikan pelajaran dalam rangka meningkatkan kegiatan serupa, khususnya di Indonesia pada masa-masa dendatang.


Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Bencana

Jepangg mempunyai kesamaan dengan Indonesia dalam hal rawan bencana alam. Gempa bumi, sunami, badai, gunung meletus, banjir dan berbagai macam jenis bencana alam lainnya pernah terjadi di Jepang. Oleh karena itu, masyarakat Jepang tempo dulu percaya bahwa hal yang paling menakutkan di dunia adalah “Jishin” (gempa bumi), “Kaminari” (halilintar), dan fenomena alam lain yang memungkinkan terjadinya bencana. Mereka takut karena dalam pepatah Jepang dikenal “Gaiga wa wasureta koro ni yate kuru” yang artinya bencana itu biasanya datang pada saat yang paling tidak kita duga. Oleh sebab itu pula, pada jaman dahulu, orang Jepang hanya pasrah dan berdo’a kepada Tuhan Y.M.E. ketika bencana datang.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pencapaian perkembangan sosial, politik, budaya maupun ekonomi Jepang, akhirnya pihak pemerintah baik pada tingkat pusat maupun daerah mengambil peran dan tanggungjawab untuk menangani dan mengembangkan sistem pengelolaan penanggulangan bencana yang lebih baik dengan dukungan kegiatan penelitian yang cukup kuat guna melindungi masyarakatnya. Akan tetapi selama berpuluh-puluh tahun lamanya, penanganan bencana yang hanya dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak cukup untuk mencapai hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, Jepang kemudian merubah strategi pendekatannya dimana pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama untuk mencapai pengelolaan bencana yang lebih baik dan memuaskan serta berkelanjutan. Dalam hal ini, kata kunci dalam penanggulangan bencana adalah “Bagaimana menciptakan suatu pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk membangun kemitraan yang lebih baik dengan pemerintah dalam rangka penanganan bencana secara berkelanjutan?”

Mengacu pada konsep tersebut, sejak beberapa tahun yang lalu pemerintah Jepang telah melaksanakan pendekatan yang bertumpu pada manusia dalam penanganan bencana. Pendekatan ini mengutamakan pentingnya dua hal yakni perlindungan masyarakat melalui upaya yang bersifat top down, dan pemberdayaan masyarakat dengan cara bottom up dari masyarakat akar rumput.

Sekilas Penaggulangan Bencana Gempa Bumi di Kobe

Latar Belakang

Tepat jam 05.46 pada tanggal 17 Januari 1995, gempabumi yang luar biasa besar dengan kekuatan 7.2 Skala Rigter terjadi di bagian selatan Propinsi Hyogo. Gempabumi tersebut menyebabkan korban jiwa dan harta-benda yang tak ternilai besarnya, karena terjadi di daerah perkotaan Kobe-Hanshin yang padat penduduk. Lebih dari 6,400 jiwa manusia meninggal, 34.600 jiwa manusia luka-luka dan 250.000 buah rumah rusak.

Infrastruktur dasar yang mencakup listrik, air, jalan kereta api, gas, jalan raya dan lainnya hancur. Jutaan jiwa manusia korban gempabumi diungsikan ke sekolah-sekolah dan tempat-tempat lain yang terdekat. Tampak jelas bahwa tanpa bantuan masyarakat, pemerintah tidak mungkin dapat menangani sendiri, untuk segera memenuhi berbagai kebutuhan yang diperlukan para korban.

Situasi yang memilukan tersebut menimbulkan empati yang kuat di antara warga Jepang maupun dari masyarakat luar negeri. Hanya dalam waktu yang relatif singkat setelah terjadinya gempa, telah berdatangan sukarelawan untuk membantu korban. Di antara mereka adalah sukarelawan yang berasal dari lembaga Non-Profit Organisation (NPO), Non-Government Organization (NGO) serta banyak personal yang sebelumnya belum pernah menjadi sukarelawan (volunteer). Mereka bahu-membahu bekerja-sama dengan aparat pemerintah maupun komunitas lokal untuk menangani berbagai permasalan akibat gempabumi.

Masyarakat Sebagai Basis Kekuatan Penanggulangan Bencana

Karya nyata sukarelawan baik yang datang dari dalam maupun luar negeri selama masa darurat penanggulangan bencana gempa bumi di Kobe, menyadarkan pemerintah Jepang akan kedahsyatan kekuatan masyarakat. Sebesar apapun kekuatan pemerintah tidak cukup efektif dalam penanganan darurat bencana seperti kasus di Kobe. jika tanpa dukungan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat beserta organisasi pendukungnya baik yang berasal NPO/NGO maupun LSM dalam waktu relatif singkat mampu mengorganisasikan diri untuk saling bermitra menangani berbagai permasalahan dan memenuhi kebutuhan terkait dengan keperluan korban. Mulai dari proses evakuasi, perawatan kesehatan/pengobatan, permakanan, pakaian, perumahan sementara/ tempat pengungsian dan kebutuhan lain dapat teratasi dengan baik.

Pengalaman tersebut selanjutnya dijadikan pelajaran untuk penentuan kebijakan dan strategi pembangunan yang lebih bertumpu pada kekuatan masyarakat akar rumput (bottom up), termasuk dalam penanggulangan bencana. Pemerintah dalam kasus ini lebih menempatkan posisinya sebagai outsider yang melaksanakan fungsi regulator, fasilitator dan dinamisator. Sebaliknya masyarakatlah yang kemudian menjadi pemilik (ouwner) dari pembangunan. Dengan perkataan lain pemerintah lebih menekankan fungsi perlindungan melalui upaya yang bersifat top down, dan pada sisi yang lain pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan cara bottom up dari masyarakat akar rumput.

Pergeseran Fokus Penanganan yang Bersifat Darurat ke Pengembangan Komunitas

Pemerintah, NGO/NPO beserta individu dan kelompok sukarelawan dalam mengorganisasikan berbagai aktivitasnya selama masa darurat semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan korban. Setelah berhasil keluar dari keadaan darurat, maka penanggulangan bencana dilanjutkan dengan upaya rekonstruksi dan recovery.

Dapat dimaklumi, bahwa bencana gempa bumi yang menimpa masyarakat Kobe menyisakan penderitaan dan trauma yang mendalam bagi warganya. Penurunan kesejahteraan bukan hanya dirasakan secara sosial dan ekonomi, tetapi juga psikologi. Oleh karena itu, penanganan selanjutnya lebih ditujukan untuk menumbuh-kembangkan rasa optimisme masyarakat dalam menatap masa depan pasca bencana.

Berdasarkan pengalaman, upaya ini justru memerlukan penanganan yang jauh lebih serius dan memakan waktu cukup lama. Masyarakat perlu dimotivasi dan selanjutnya kembali ditumbuh-kembangkan jati dirinya dari keterpurukan akibat bencana. Di sinilah relevansi pendekatan pengembangan masyarakat/komunitas dalam penannggulangan bencana.

Komunitas Lokal Sebagai Pemilik Program Rekonstruksi dan Recovery Pasca Bencana.

Bersamaan dengan berakhirnya keadaan darurat pasca bencana, banyak lembaga internasional/lokal, individu dan kelompok sukarelawan yang meninggalkan lokasi untuk kembali mengakhiri tugas kemanusiaannya. Lantas siapa yang melanjutkan proses rekontruksi dan recovery dalam rangka mengorganisir aktivitas pembangunan pasca bencana?

Seperti telah dikatakan pada bagian terdahulu, maka tumpuan utamanya adalah pemerintah dan NPO/NGO lokal yang berperan sebagai outsider. Pada sisi yang lain LSM, atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) lokal, individu, keluarga dan kelompok masyarakat/komunitas setempat sebagai insider. Dalam hal ini, selepas kondisi darurat, masyarakat/komunitas lokal sudah diorientasikan sebagai subjek pembangunan, dan bukan hanya diperlakukan sebagai objek semata. Demikian pula creatif pemerintah dan NPO/NGO sudah harus bergeser menempatkan diri sebagai regulator, fasilitator, motivator, katalisator, edukator dan dinamisator dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana. Karena pada hakekatnya program pembangunan melalui rekonstruksi dan recovery pasca bencana adalah milik masyarakat/komunitas yang bersangkutan.

Penanggulangan Bencana yang Berkelanjutan

Kini 12 tahun kejadian gempabumi telah berlalu, keberadaan NPO, NGO dan serta LSM yang didirikan komunitas lokal masih eksis keberadaannya. Mereka bermitra dengan pemerintah pusat maupun lokal untuk tetap melanjutkan proses rekonstruksi pasca gempa serta terus berusaha mengembangkan masyarakat/komunitas, baik dari sisi kesejahteraan, sosial-ekonomi serta membangun kesiap-siagaan dalam penanganan bencana yang berbasis masyarakat lokal.

Dari sisi lingkungan fisik, demi terwujudnya keberlanjutan sumber daya alam (natural sustainability) mereka senantiasa terus memperbaiki, meningkatkan dan menyempurnakan sarana/prasarana kota serta memelihara maupun mengoptimalkan pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat/komunitas dengan manajemen yang berwawasan lingkungan. Dari sisi keberlanjutan ekonomi (economic sustainability), terus berupaya berkreativitas untuk dapat menciptakan dan meningkatkan kuantitas maupun kualitas produk/komuditas yang mempunyai nilai keunggulan kompetitif berdasarkan potensi serta keunikan pada konteks lokal guna menaikkan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula di bidang sosial, politik dan kebudayaan, mereka terus menumbuh-kembangkan sikap dan perilaku warga masyarakat/komunitas yang mampu menciptakan keharmonisan kehidupan bersama, baik hubungan antar-umat manusia maupun hubungan manusia dengan lingkungannya demi terwujudnya keberlanjutan sosial (social sustainability). Upaya-upaya tersebut antara lain meliputi pelayanan kesejahteraan sosial (penyandang cacat, lanjut usia, penderita penyakit kronis termasuk HIV/AID) baik yang dilakukan melalui pendekatan panti maupun non panti, membangun perdamaian (peace building) dan demokrasi.

Terkait dengan usaha membangun kesiap-siagaan dalam penanggulangan bencana yang berbasis masyarakat lokal, di samping terus melengkapi berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan, mereka pun melakukan berbagai bentuk sosialisasi dan bahkan pendidikan serta pelatihan yang dilakukan secara berkelanjutan. Salah satu wujud kongkrit hasil kolaborasi antara pemerintah, NPO/NGO serta LSM maupun warga masyarakat/komunitas akar rumput dalam membangun kesiap-siagaan penanggulangan bencana adalah berdirinya The Great Hanshin-Awaji Earthquake Memorial berupa Diaster Reduction Museum/Human Renovation Museum atau yang lebih dikenal sebagai Musium Bencana Alam di Kota Kobe.

Kasus Kawasan “Mikura” Sebelum dan Sesudah Gempabumi 1995

Mikura termasuk wilayah administrasi Kota Kobe yang berada di Propinsi Hyogo. Sebelum gempabumi pada tanggal 17 Januari 1995, Mikura adalah bagian dari kawasan kota tua yang khas di Kobe. Mikura sebelum gempa bumi merupakan kawasan pemukiman padat penduduk, dengan rumah-rumah berukuran kecil yang terbuat dari kayu. Jalan atau lorong-lorong yang ada di kawasan pemukiman tersebut lebarnya tidak lebih dari 2 M. Banyak di antara rumah-rumah penduduk yang juga dijadikan tempat usaha, berupa warung ataupun toko.

Total area Mikura kurang lebih seluas 6 ha, yang dihuni sekitar 300 Kepala Keluarga. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai pekerja pabrik, restoran dan pramuniaga serta pekerja bangunan. Dalam tata pergaulan sehari-hari sebagaimana layaknya penduduk kota besar di Jepang, mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Oleh karena itu, cenderung kurang peduli terhadap lingkungannya.

Kondisi lingkungan fisik maupun sosial di pemukiman seperti itu, pada akhirnya mempermudah terjadinya bencana lanjutan seperti kebakaran sebagaimana kejadian sesaat setelah gempa bumi Kobe tahun 1995. Delapan puluh persen rumah penduduk di kawasan pemukiman Mikura ambruk dan ludes terbakar, serta diperkirakan mencapai tujuh puluh persen perabotan rumah tangga musnah. Kecuali itu, juga tidak sedikit sarana/prasarana umum yang ada di wilayah pemukiman tersebut hancur dan musnah akibat gempa bumi dan kebakaran yang menyertainya.

Jauh berbeda dengan kondisi lingkungan sebelum terjadinya gempa bumi pada tahun 1995, Mikura kini menjadi pemukiman yang bersih, tertib, rapi, indah, manusiawi serta tahan gempa. Hasil re-zoning berkenaan dengan rencana tata ruang kota baru dan rekonstruksi menuju terwujudnya kawasan pemukiman yang tahan gempabumi, sejak diumumkan pemerintah kota besar Kobe pada tanggal 17 Maret 1995, atau dua bulan setelah gempabumi membuahkan lingkungan pemukiman yang jauh lebih bersih, tertib, rapi, indah, manusiawi serta tahan gempa.

Mikura yang dahulunya merupakan daerah pemukiman kumuh (slum area), sekarang menjadi perkotaan yang berwawasan lingkungan. Rumah-rumah penduduk yang sebelumnya memenuhi areal pemukiman, kini tidak ada lagi karena mereka lebih senang hidup di rumah susun (flat). Lorong-lorong yang dahulunya sempit, sekarang berubah menjadi jalan lingkungan yang lebar, sehingga memungkinkan dilalui kendaraan besar, termasuk mobil-mobil pemadam kebakaran. Slokan/sungai yang membentang di areal pemukiman menjadi bagian dari taman kota yang jernih airnya. Kecuali itu, juga banyak pepohonan rindang dan tanaman hias yang terawat di berbagai sudut kota sebagai bagian dari hutan/taman kota kecil Mikura. Begitu pun warung/toko dan jenis tempat usaha lain yang sebelumnya menyatu dengan areal pemukiman, setelah dilakukan rekonstruksi dan recovery pasca gempa kini tidak tampak lagi karena telah direlokasi ke tempat-tempat lain yang menjadi pusat perniagaan. Singkat kata, Mikura pasca gempabumi tahun 1995 menjadi Kota kecil yang berwawasan lingkungan dengan tingkat kesejahteraan hidup warga masyarakatnya yang jauh meningkat lebih tinggi, berkat kreativitas serta hasil kerja keras seluruh warga masyarakat/komunitas atas dukungan NPO/NGO dan pemerintah.

Kesimpulan

Tulisan yang sangat singkat ini mungkin belum cukup signivikan dapat menggambarkan serangkaian upaya penanggulangan bencana gempa bumi di Kobe sejak 12 tahun silam. Namun sekurang-kurangnya telah dapat menunjukkan beberapa hal yang sangat penting untuk dijadikan pelajaran dalam rangka memperbaiki, meningkatkan dan menyempurnakan upaya penanggulangan bencana, khususnya di Indonesia. Sebagai kesimpulan, dapat dirangkum beberapa hal dimaksud sebagai berikut:

1. Masyarakat Jepang memandang kejadian bencana alam bukan sebagai kutukan tetapi justru menjadi bagian dari ujian yang diberikan Tuhan Y.M.E. kepada manusia. Sikap ini mencerminkan hubungan yang harmonis dan selaras antara manusia dengan Tuhan-nya. Karena itu, bencana harus disikapi secara arif dan bijaksana melalui instropeksi serta memperbaiki diri dalam rangka lebih mendekatkan dengan Tuhan-nya.

2. Gempa bumi, gunung meletus, banjir dan fenomena alam lain yang sering kali menyebabkan bencana bagi manusia dipandang sebagai bagian dari proses alam yang universal. Sikap ini mencerminkan hubungan yang harmonis dan selaras antara manusia dengan alam sekitarnya. Paradigma antropocentris sudah harus diakhiri, karena manusia juga harus memberikan kesempatan kepada alam untuk menjalankan proses alamiahnya. Manusia tidak boleh merusak alam, dan sebaliknya berkewajiban memelihara, melestarikan dan mendayagunakannya secara berkelanjutan.

3. Bencana juga dipandang sebagai musibah yang kapan dan dimana saja dapat menimpa setiap manusia. Sikap ini menumbuh-kembangkan perasaan untuk saling tolong-menolong, kegotong-royongan, kekeluargaan, kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang mencerminkan hubungan harmonis dan selaras antar manusia.

4. Jepang telah melaksanakan pendekatan yang bertumpu pada manusia dalam penanganan bencana. Pendekatan ini mengutamakan pentingnya perlindungan warga masyarakat/komunitas oleh pemerintah melalui upaya yang bersifat top down, dan pemberdayaan masyarakat dengan cara bottom up dari masyarakat akar rumput.

5. Kekuatan masyarakat/komunitas merupakan basis utama dalam penanggulangan korban bencana. Evakuasi korban di masa darurat, rekonstruksi dan recovery korban bencana alam tidak akan dapat tercapai secara optimal tanpa revitalizasi masyarakat/komunitas.

6. Pergeseran fokus penanganan yang bersifat darurat ke pengembangan komunitas penting dijadikan prioritas perhatian dalam penanggulangan bencana. Jika pada saat darurat kreativitas berada di tangan outsider, maka sebaliknya memasuki rekonstruksi dan recovery yang menjadi owner-nya adalah masyarakat/ komunitas yang bersangkutan.

7. Penangulangan bencana dilakukan secara berkelanjutan. Artinya, penanggulangan bencana tidak cukup berhenti sampai pada tahapan rekonstruksi dan recovery, tetapi jauh lebih penting mewujudkan kesiap-siagaam individu, kelompok dan masyarakat/komunitas untuk mencegah, menangani dan merehabilitasi akibat kejadian bencana.

Anggaran Basarnas Turun 20%, Operasi SAR Diprediksi Terhambat

Jakarta - Komisi V DPR RI menyesalkan penurunan anggaran untuk Badan SAR Nasional (Basarnas) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam APBN 2010. Kondisi ini memprihatinkan, karena banyak bencana di Indonesia yang tidak tertangani dengan cepat oleh Basarnas.

"Saya prihatin dengan penurunan anggaran Basarnas hingga 20 persen di APBN 2010. Jangankan untuk bisa meningkatkan pelayanan dengan memperpendek waktu tanggap bencana (respons time), untuk kegiatan operasi SAR saja masih sangat kurang," ujar Anggota Komisi V DPR RI KH Abdul Hakim lewat rilisnya kepda detikcom, Kamis (28/1/2010).

Menurut Hakim, padahal permasalahan itu adalah menyoal keselamatan jiwa. Politik anggaran pemerintah harus diprioritaskan untuk keselamatan anak bangsa.

Sementara itu, Wakil ketua Komisi V DPR RI H Muhidin Mohammad Said juga menyatakan hal serupa. Muhidin mendesak pemerintah untuk menaikkan alokasi anggaran untuk Basarnas dan BMKG minimal seperti tahun 2009.

“Apabila dibandingkan dengan tahun 2009, anggaran Basarnas dalam APBN 2010 mengalami penurunan sebesar 20%. Dan yang memprihatinkan, anggaran yang dialokasikan dalam APBN 2010 ini hanya bisa mengcover 29,07% dari anggaran yang dibutuhkan oleh Basarnas. Seharusnya alokasi anggaran untuk Basarnas ditambah bukan malah dihilangkan,” kata Muhidin.

Seperti diketahui, dalam beberapa rapat kerja dengan Komisi V DPR RI, Basarnas dan BMKG menyampaikan penurunan alokasi anggaran mereka dalam APBN 2010. Dari alokasi anggaran Basarnas tahun 2010 hanya sebesar Rp 565,7 miliar atau turun sebesar 20% dari alokasi tahun 2009 yang mencapai Rp 694,3 miliar.

Minimnya alokasi anggaran untuk Basarnas itu menyebabkan kegiatan operasi SAR terancam tidak optimal karena kekurangan anggaran. Dana untuk operasi SAR tahun 2010 yang hanya dialokasikan Rp 3,396 miliar tidak bisa mencukup kegiatan operasi SAR dalam setahun. Terlebih Basarnas harus mengganti biaya operasi SAR tahun 2009 (kejadian akhir tahun) sebesar Rp 2,53 miliar.

Sementara alokasi anggaran BMKG ditahun 2010 mengalami penurunan sebesar 11,5%. Jika tahun 2009, BMKG mendapat jatah APBN sebesar Rp 977,839 miliar, tahun 2010 badan ini mendapat anggaran sebesar Rp 865,179 miliar

Proses Evakuasi Terhambat Cuaca Buruk

Bogor - Tim evakuasi dari UIN Yogyakarta dan Jakarta berhasil mengetahui posisi enam mahasiswa yang hilang di Gunung Salak, Bogor. Namun proses evakuasi tidak bisa dilanjutkan karena buruknya cuaca dan kurangnya logistik.

Menurut anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kabupaten Bogor, Andre, posisi enam mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta sebenarnya sudah bisa diketahui sejak pukul 14.37 WIB. "Di ketinggian 2100 kaki cuma SURVIVOR membutuhkan LOGISTIK dan Alat VERTICAL RESCUE," kata Andre dalam pesan singkat yang diterima detikcom, Sabtu (30/1/2010).

Andre menjelaskan, cuaca di daerah Gunung Salak terus memburuk. Hujan deras yang disertai kabut tebal memaksa tim evakuasi lainnya tidak bisa mendaki.

"Pendakian dilanjutkan besok," jelasnya.

Saat ini kondisi fisik dari keenam pendaki mulai membaik. Hiportermia yang sempat menyerang mereka, berangsur-angsur mulai hilang.

Teriakan Mahasiswa Mulai Terdengar Samar-samar

Bogor - Beberapa mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta dan Jakarta secara sukarela menaiki Gunung Salak untuk mencari 6 rekannya yang hilang. Teriakan mahasiswa minta tolong mulai terdengar secara samar-samar saat tim sudah mendekat.

Hal tersebut diungkapkan anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kabupaten Bogor, Andre saat dihubungi, Sabtu (30/1/2010). Andre sendiri masih berada di kaki gunung Salak untuk berkoordinasi soal jadi tidaknya naik ke Gunung Salak.

Tin yang berangkat beranggotakan delapan orang. Dipimpin oleh UIN Jakarta, mereka berangkat sejak Jumat sore (29/1) melalui jalur Curug Nangka.

Menurut Andre, meski sudah bisa mendengar jeritan, tim evakuasi belum bisa mendekati posisi 6 mahasiswa tersebut. Menurut informasi, posisi mahasiswa yang hilang tersebut berada di jurang.

Sementara itu, Andre beserta 20 rekan lainnya masih terus melakukan koordinasi soal jadi tidaknya ikut membantu proses evakuasi. Ketiadaan alat evakuasi dan logistik menjadi salah satu penyebab tertahannya mereka.

Enam mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta hilang di Gunung Salak. Mereka berangkat sejak 23 Januari lalu melalui pintu kaki Gunung Salak, Ciapus. Mereka berencana turun 27 Januari.