PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS MASYARAKAT

PENDAHULUAN
Pada sebuah forum internasional yang dilaksanakan pada awal 2007 di Jepang ada sebuah pertanyaan yang perlu disikapi oleh kita sebagai warga Indonesia, pertanyaannya antara lain: "Mengapa bencana alam bisa terjadi bertubi-tubi di Indonesiadalam tahaun-tahun sekarang ini ?, "dan mengapa bencana alam itusering kali banyak memakan korban korban jiwa dan harta benda ?", kemudian bagaimana dampak bencana tersebut terhadap kehidupan masyarakat/ komunitas lokal yang bersangkutan ?", Apa saja upaya -upaya Indonesia dalam penanggulangan bencana tersebut,?



Penulis sadar bahwa dari sekian banyak pertanyaan itu tidak mungkin bisa terjawab semua. Beberapa pertanyaan mungkin lebih tepat jika ditujukan langsung kepada para korban, sukarelawan, pengurus LSM atau NGO, aparat pemerintah yang terkait dan bahkan Tuhan Y.M.E. Namun demikian pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya telah menyadarkan penulis bahwa ternyata “Isu bencana” telah menjadi perhatian internasional. Pentingnya isu tersebut karena berkaitan langsung dengan masalah pembangunan berkelanjutan, termasuk natural, economic and social sustainability sebagaimana tema yang dibahas dalam forum tersebut. Bertolak dari pengalaman itu, melalui tulisan singkat ini penulis berusaha mengorganisasikan informasi dan data upaya penanggulangan bencana gempa bumi di Kobe-Jepang sejak 12 tahun silam untuk dijadikan pelajaran dalam rangka meningkatkan kegiatan serupa, khususnya di Indonesia pada masa-masa dendatang.


Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Bencana

Jepangg mempunyai kesamaan dengan Indonesia dalam hal rawan bencana alam. Gempa bumi, sunami, badai, gunung meletus, banjir dan berbagai macam jenis bencana alam lainnya pernah terjadi di Jepang. Oleh karena itu, masyarakat Jepang tempo dulu percaya bahwa hal yang paling menakutkan di dunia adalah “Jishin” (gempa bumi), “Kaminari” (halilintar), dan fenomena alam lain yang memungkinkan terjadinya bencana. Mereka takut karena dalam pepatah Jepang dikenal “Gaiga wa wasureta koro ni yate kuru” yang artinya bencana itu biasanya datang pada saat yang paling tidak kita duga. Oleh sebab itu pula, pada jaman dahulu, orang Jepang hanya pasrah dan berdo’a kepada Tuhan Y.M.E. ketika bencana datang.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pencapaian perkembangan sosial, politik, budaya maupun ekonomi Jepang, akhirnya pihak pemerintah baik pada tingkat pusat maupun daerah mengambil peran dan tanggungjawab untuk menangani dan mengembangkan sistem pengelolaan penanggulangan bencana yang lebih baik dengan dukungan kegiatan penelitian yang cukup kuat guna melindungi masyarakatnya. Akan tetapi selama berpuluh-puluh tahun lamanya, penanganan bencana yang hanya dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak cukup untuk mencapai hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, Jepang kemudian merubah strategi pendekatannya dimana pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama untuk mencapai pengelolaan bencana yang lebih baik dan memuaskan serta berkelanjutan. Dalam hal ini, kata kunci dalam penanggulangan bencana adalah “Bagaimana menciptakan suatu pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk membangun kemitraan yang lebih baik dengan pemerintah dalam rangka penanganan bencana secara berkelanjutan?”

Mengacu pada konsep tersebut, sejak beberapa tahun yang lalu pemerintah Jepang telah melaksanakan pendekatan yang bertumpu pada manusia dalam penanganan bencana. Pendekatan ini mengutamakan pentingnya dua hal yakni perlindungan masyarakat melalui upaya yang bersifat top down, dan pemberdayaan masyarakat dengan cara bottom up dari masyarakat akar rumput.

Sekilas Penaggulangan Bencana Gempa Bumi di Kobe

Latar Belakang

Tepat jam 05.46 pada tanggal 17 Januari 1995, gempabumi yang luar biasa besar dengan kekuatan 7.2 Skala Rigter terjadi di bagian selatan Propinsi Hyogo. Gempabumi tersebut menyebabkan korban jiwa dan harta-benda yang tak ternilai besarnya, karena terjadi di daerah perkotaan Kobe-Hanshin yang padat penduduk. Lebih dari 6,400 jiwa manusia meninggal, 34.600 jiwa manusia luka-luka dan 250.000 buah rumah rusak.

Infrastruktur dasar yang mencakup listrik, air, jalan kereta api, gas, jalan raya dan lainnya hancur. Jutaan jiwa manusia korban gempabumi diungsikan ke sekolah-sekolah dan tempat-tempat lain yang terdekat. Tampak jelas bahwa tanpa bantuan masyarakat, pemerintah tidak mungkin dapat menangani sendiri, untuk segera memenuhi berbagai kebutuhan yang diperlukan para korban.

Situasi yang memilukan tersebut menimbulkan empati yang kuat di antara warga Jepang maupun dari masyarakat luar negeri. Hanya dalam waktu yang relatif singkat setelah terjadinya gempa, telah berdatangan sukarelawan untuk membantu korban. Di antara mereka adalah sukarelawan yang berasal dari lembaga Non-Profit Organisation (NPO), Non-Government Organization (NGO) serta banyak personal yang sebelumnya belum pernah menjadi sukarelawan (volunteer). Mereka bahu-membahu bekerja-sama dengan aparat pemerintah maupun komunitas lokal untuk menangani berbagai permasalan akibat gempabumi.

Masyarakat Sebagai Basis Kekuatan Penanggulangan Bencana

Karya nyata sukarelawan baik yang datang dari dalam maupun luar negeri selama masa darurat penanggulangan bencana gempa bumi di Kobe, menyadarkan pemerintah Jepang akan kedahsyatan kekuatan masyarakat. Sebesar apapun kekuatan pemerintah tidak cukup efektif dalam penanganan darurat bencana seperti kasus di Kobe. jika tanpa dukungan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat beserta organisasi pendukungnya baik yang berasal NPO/NGO maupun LSM dalam waktu relatif singkat mampu mengorganisasikan diri untuk saling bermitra menangani berbagai permasalahan dan memenuhi kebutuhan terkait dengan keperluan korban. Mulai dari proses evakuasi, perawatan kesehatan/pengobatan, permakanan, pakaian, perumahan sementara/ tempat pengungsian dan kebutuhan lain dapat teratasi dengan baik.

Pengalaman tersebut selanjutnya dijadikan pelajaran untuk penentuan kebijakan dan strategi pembangunan yang lebih bertumpu pada kekuatan masyarakat akar rumput (bottom up), termasuk dalam penanggulangan bencana. Pemerintah dalam kasus ini lebih menempatkan posisinya sebagai outsider yang melaksanakan fungsi regulator, fasilitator dan dinamisator. Sebaliknya masyarakatlah yang kemudian menjadi pemilik (ouwner) dari pembangunan. Dengan perkataan lain pemerintah lebih menekankan fungsi perlindungan melalui upaya yang bersifat top down, dan pada sisi yang lain pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan cara bottom up dari masyarakat akar rumput.

Pergeseran Fokus Penanganan yang Bersifat Darurat ke Pengembangan Komunitas

Pemerintah, NGO/NPO beserta individu dan kelompok sukarelawan dalam mengorganisasikan berbagai aktivitasnya selama masa darurat semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan korban. Setelah berhasil keluar dari keadaan darurat, maka penanggulangan bencana dilanjutkan dengan upaya rekonstruksi dan recovery.

Dapat dimaklumi, bahwa bencana gempa bumi yang menimpa masyarakat Kobe menyisakan penderitaan dan trauma yang mendalam bagi warganya. Penurunan kesejahteraan bukan hanya dirasakan secara sosial dan ekonomi, tetapi juga psikologi. Oleh karena itu, penanganan selanjutnya lebih ditujukan untuk menumbuh-kembangkan rasa optimisme masyarakat dalam menatap masa depan pasca bencana.

Berdasarkan pengalaman, upaya ini justru memerlukan penanganan yang jauh lebih serius dan memakan waktu cukup lama. Masyarakat perlu dimotivasi dan selanjutnya kembali ditumbuh-kembangkan jati dirinya dari keterpurukan akibat bencana. Di sinilah relevansi pendekatan pengembangan masyarakat/komunitas dalam penannggulangan bencana.

Komunitas Lokal Sebagai Pemilik Program Rekonstruksi dan Recovery Pasca Bencana.

Bersamaan dengan berakhirnya keadaan darurat pasca bencana, banyak lembaga internasional/lokal, individu dan kelompok sukarelawan yang meninggalkan lokasi untuk kembali mengakhiri tugas kemanusiaannya. Lantas siapa yang melanjutkan proses rekontruksi dan recovery dalam rangka mengorganisir aktivitas pembangunan pasca bencana?

Seperti telah dikatakan pada bagian terdahulu, maka tumpuan utamanya adalah pemerintah dan NPO/NGO lokal yang berperan sebagai outsider. Pada sisi yang lain LSM, atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) lokal, individu, keluarga dan kelompok masyarakat/komunitas setempat sebagai insider. Dalam hal ini, selepas kondisi darurat, masyarakat/komunitas lokal sudah diorientasikan sebagai subjek pembangunan, dan bukan hanya diperlakukan sebagai objek semata. Demikian pula creatif pemerintah dan NPO/NGO sudah harus bergeser menempatkan diri sebagai regulator, fasilitator, motivator, katalisator, edukator dan dinamisator dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana. Karena pada hakekatnya program pembangunan melalui rekonstruksi dan recovery pasca bencana adalah milik masyarakat/komunitas yang bersangkutan.

Penanggulangan Bencana yang Berkelanjutan

Kini 12 tahun kejadian gempabumi telah berlalu, keberadaan NPO, NGO dan serta LSM yang didirikan komunitas lokal masih eksis keberadaannya. Mereka bermitra dengan pemerintah pusat maupun lokal untuk tetap melanjutkan proses rekonstruksi pasca gempa serta terus berusaha mengembangkan masyarakat/komunitas, baik dari sisi kesejahteraan, sosial-ekonomi serta membangun kesiap-siagaan dalam penanganan bencana yang berbasis masyarakat lokal.

Dari sisi lingkungan fisik, demi terwujudnya keberlanjutan sumber daya alam (natural sustainability) mereka senantiasa terus memperbaiki, meningkatkan dan menyempurnakan sarana/prasarana kota serta memelihara maupun mengoptimalkan pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat/komunitas dengan manajemen yang berwawasan lingkungan. Dari sisi keberlanjutan ekonomi (economic sustainability), terus berupaya berkreativitas untuk dapat menciptakan dan meningkatkan kuantitas maupun kualitas produk/komuditas yang mempunyai nilai keunggulan kompetitif berdasarkan potensi serta keunikan pada konteks lokal guna menaikkan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula di bidang sosial, politik dan kebudayaan, mereka terus menumbuh-kembangkan sikap dan perilaku warga masyarakat/komunitas yang mampu menciptakan keharmonisan kehidupan bersama, baik hubungan antar-umat manusia maupun hubungan manusia dengan lingkungannya demi terwujudnya keberlanjutan sosial (social sustainability). Upaya-upaya tersebut antara lain meliputi pelayanan kesejahteraan sosial (penyandang cacat, lanjut usia, penderita penyakit kronis termasuk HIV/AID) baik yang dilakukan melalui pendekatan panti maupun non panti, membangun perdamaian (peace building) dan demokrasi.

Terkait dengan usaha membangun kesiap-siagaan dalam penanggulangan bencana yang berbasis masyarakat lokal, di samping terus melengkapi berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan, mereka pun melakukan berbagai bentuk sosialisasi dan bahkan pendidikan serta pelatihan yang dilakukan secara berkelanjutan. Salah satu wujud kongkrit hasil kolaborasi antara pemerintah, NPO/NGO serta LSM maupun warga masyarakat/komunitas akar rumput dalam membangun kesiap-siagaan penanggulangan bencana adalah berdirinya The Great Hanshin-Awaji Earthquake Memorial berupa Diaster Reduction Museum/Human Renovation Museum atau yang lebih dikenal sebagai Musium Bencana Alam di Kota Kobe.

Kasus Kawasan “Mikura” Sebelum dan Sesudah Gempabumi 1995

Mikura termasuk wilayah administrasi Kota Kobe yang berada di Propinsi Hyogo. Sebelum gempabumi pada tanggal 17 Januari 1995, Mikura adalah bagian dari kawasan kota tua yang khas di Kobe. Mikura sebelum gempa bumi merupakan kawasan pemukiman padat penduduk, dengan rumah-rumah berukuran kecil yang terbuat dari kayu. Jalan atau lorong-lorong yang ada di kawasan pemukiman tersebut lebarnya tidak lebih dari 2 M. Banyak di antara rumah-rumah penduduk yang juga dijadikan tempat usaha, berupa warung ataupun toko.

Total area Mikura kurang lebih seluas 6 ha, yang dihuni sekitar 300 Kepala Keluarga. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai pekerja pabrik, restoran dan pramuniaga serta pekerja bangunan. Dalam tata pergaulan sehari-hari sebagaimana layaknya penduduk kota besar di Jepang, mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Oleh karena itu, cenderung kurang peduli terhadap lingkungannya.

Kondisi lingkungan fisik maupun sosial di pemukiman seperti itu, pada akhirnya mempermudah terjadinya bencana lanjutan seperti kebakaran sebagaimana kejadian sesaat setelah gempa bumi Kobe tahun 1995. Delapan puluh persen rumah penduduk di kawasan pemukiman Mikura ambruk dan ludes terbakar, serta diperkirakan mencapai tujuh puluh persen perabotan rumah tangga musnah. Kecuali itu, juga tidak sedikit sarana/prasarana umum yang ada di wilayah pemukiman tersebut hancur dan musnah akibat gempa bumi dan kebakaran yang menyertainya.

Jauh berbeda dengan kondisi lingkungan sebelum terjadinya gempa bumi pada tahun 1995, Mikura kini menjadi pemukiman yang bersih, tertib, rapi, indah, manusiawi serta tahan gempa. Hasil re-zoning berkenaan dengan rencana tata ruang kota baru dan rekonstruksi menuju terwujudnya kawasan pemukiman yang tahan gempabumi, sejak diumumkan pemerintah kota besar Kobe pada tanggal 17 Maret 1995, atau dua bulan setelah gempabumi membuahkan lingkungan pemukiman yang jauh lebih bersih, tertib, rapi, indah, manusiawi serta tahan gempa.

Mikura yang dahulunya merupakan daerah pemukiman kumuh (slum area), sekarang menjadi perkotaan yang berwawasan lingkungan. Rumah-rumah penduduk yang sebelumnya memenuhi areal pemukiman, kini tidak ada lagi karena mereka lebih senang hidup di rumah susun (flat). Lorong-lorong yang dahulunya sempit, sekarang berubah menjadi jalan lingkungan yang lebar, sehingga memungkinkan dilalui kendaraan besar, termasuk mobil-mobil pemadam kebakaran. Slokan/sungai yang membentang di areal pemukiman menjadi bagian dari taman kota yang jernih airnya. Kecuali itu, juga banyak pepohonan rindang dan tanaman hias yang terawat di berbagai sudut kota sebagai bagian dari hutan/taman kota kecil Mikura. Begitu pun warung/toko dan jenis tempat usaha lain yang sebelumnya menyatu dengan areal pemukiman, setelah dilakukan rekonstruksi dan recovery pasca gempa kini tidak tampak lagi karena telah direlokasi ke tempat-tempat lain yang menjadi pusat perniagaan. Singkat kata, Mikura pasca gempabumi tahun 1995 menjadi Kota kecil yang berwawasan lingkungan dengan tingkat kesejahteraan hidup warga masyarakatnya yang jauh meningkat lebih tinggi, berkat kreativitas serta hasil kerja keras seluruh warga masyarakat/komunitas atas dukungan NPO/NGO dan pemerintah.

Kesimpulan

Tulisan yang sangat singkat ini mungkin belum cukup signivikan dapat menggambarkan serangkaian upaya penanggulangan bencana gempa bumi di Kobe sejak 12 tahun silam. Namun sekurang-kurangnya telah dapat menunjukkan beberapa hal yang sangat penting untuk dijadikan pelajaran dalam rangka memperbaiki, meningkatkan dan menyempurnakan upaya penanggulangan bencana, khususnya di Indonesia. Sebagai kesimpulan, dapat dirangkum beberapa hal dimaksud sebagai berikut:

1. Masyarakat Jepang memandang kejadian bencana alam bukan sebagai kutukan tetapi justru menjadi bagian dari ujian yang diberikan Tuhan Y.M.E. kepada manusia. Sikap ini mencerminkan hubungan yang harmonis dan selaras antara manusia dengan Tuhan-nya. Karena itu, bencana harus disikapi secara arif dan bijaksana melalui instropeksi serta memperbaiki diri dalam rangka lebih mendekatkan dengan Tuhan-nya.

2. Gempa bumi, gunung meletus, banjir dan fenomena alam lain yang sering kali menyebabkan bencana bagi manusia dipandang sebagai bagian dari proses alam yang universal. Sikap ini mencerminkan hubungan yang harmonis dan selaras antara manusia dengan alam sekitarnya. Paradigma antropocentris sudah harus diakhiri, karena manusia juga harus memberikan kesempatan kepada alam untuk menjalankan proses alamiahnya. Manusia tidak boleh merusak alam, dan sebaliknya berkewajiban memelihara, melestarikan dan mendayagunakannya secara berkelanjutan.

3. Bencana juga dipandang sebagai musibah yang kapan dan dimana saja dapat menimpa setiap manusia. Sikap ini menumbuh-kembangkan perasaan untuk saling tolong-menolong, kegotong-royongan, kekeluargaan, kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang mencerminkan hubungan harmonis dan selaras antar manusia.

4. Jepang telah melaksanakan pendekatan yang bertumpu pada manusia dalam penanganan bencana. Pendekatan ini mengutamakan pentingnya perlindungan warga masyarakat/komunitas oleh pemerintah melalui upaya yang bersifat top down, dan pemberdayaan masyarakat dengan cara bottom up dari masyarakat akar rumput.

5. Kekuatan masyarakat/komunitas merupakan basis utama dalam penanggulangan korban bencana. Evakuasi korban di masa darurat, rekonstruksi dan recovery korban bencana alam tidak akan dapat tercapai secara optimal tanpa revitalizasi masyarakat/komunitas.

6. Pergeseran fokus penanganan yang bersifat darurat ke pengembangan komunitas penting dijadikan prioritas perhatian dalam penanggulangan bencana. Jika pada saat darurat kreativitas berada di tangan outsider, maka sebaliknya memasuki rekonstruksi dan recovery yang menjadi owner-nya adalah masyarakat/ komunitas yang bersangkutan.

7. Penangulangan bencana dilakukan secara berkelanjutan. Artinya, penanggulangan bencana tidak cukup berhenti sampai pada tahapan rekonstruksi dan recovery, tetapi jauh lebih penting mewujudkan kesiap-siagaam individu, kelompok dan masyarakat/komunitas untuk mencegah, menangani dan merehabilitasi akibat kejadian bencana.

0 Response to "PENANGGULANGAN BENCANA BERBASIS MASYARAKAT"

Posting Komentar